p? f? v?

p? f? v?

sunda pisssaaaannn!

kanggo urang sunda, hayu budayakeun bahasa sunda...kudu bangga jadi orang sunda!

Sabtu, 11 September 2010

Acil, "Budaya Sunda Sudah Tertinggal"



JATINANGOR,(GM)-
Peran intelektual saat ini tidak bisa menyajikan sebuah konsep budaya yang bisa membangun Sumedang menjadi besar. Buktinya Sumedang dan Indonesia kalah bersaing dalam pertarungan antar-SDM. Untuk mengatasinya, kaum muda harus mempunyai jawaban berupa konsep masalah budaya.

"Masyarakat Sunda harus menjadi orang pribumi yang mempunyai konsep kesundaan sebagai landasan gerakan kesundaan. Budaya Sunda kini sudah tertinggal. Alasannya tak punya konsep kesundaan," jelas Acil Bimbo dalam diskusi "Menjadikan Budaya sebagai Fondasi dan Potensi Bangsa" di Saung Bambu Cikeruh, Jatinanggor, Kab. Sumedang, Minggu (29/8).

Menurut Acil, banyak cara yang bisa ditempuh untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan. Salah satunya menanamkan kecintaan pada seni budaya Sunda sejak usia dini.

Acara yang digagas Pengurus Daerah Generasi Bangkit (PD GB) Kab. Sumedang sekaligus buka bersama tersebut, selain menghadirkan Acil Bimbo, juga sejumlah pembicara yang merupakan tokoh Sunda. Di antaranya Tjetje Hidayat Padmadinata, Herman (Ketua Tim Akselerasi Sumedang Puseur Budaya Sunda), dan Achmad Wiraatmaja (Pemangku Adat Yayasan Pangeran Sumedang).

Diskusi tersebut memunculkan pula sejumlah pandangan kritis perihal pemaknaan kata "puseur" pada Kab. Sumedang yang dikhawatirkan akan menimbulkan respons dan reaksi dari sejumlah daerah lainnya.

Dalam uraiannya Tjetje mengatakan, pencanangan Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) bukan berarti akan membuat Sumedang sebagai satu-satunya puseur budaya Sunda. Ia bahkan percaya tidak akan ada resistensi terhadap SPBS karena Sumedang hanya salah satu dari puseur budaya Sunda yang juga ada di daerah lainnya.

Budaya selalu diidentifikasi lewat suatu wilayah administrasi politik. Akibatnya, kerap muncul kecemasan akan menimbulkan reaksi dari wilayah-wilayah lainnya yang juga merasa memiliki hak atas budaya tersebut.

Terlebih ketika suatu wilayah administrasi politik, mengidentifikasi wilayahnya sebagai puseur (pusat jati diri suatu budaya). Dengan demikian mudah diduga, identifikasi itu terkesan menjadi semacam klaim yang memosisikan daerah-daerah lain sebagai wilayah pinggiran di hadapan puseur budaya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar